Sabtu, 04 April 2015

ARGUMENTASI

ARGUMENTASI
Oleh: Peni puspito


A.    Pendahuluan
Bila kita menyaksikan sebuah pertengkaran, sering kali kita lihat orang yang terlibat dalam pertengkaran tersebut selalu berusaha menghindar atau mempertahankan diri dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Ia selalu berusaha menghindar dari kesalahan-kesalahan ucapannya dan mencari pembenaran-pembenaran yang dapat dipercaya oleh lawannya. Demikian pula ketika kita menyaksikan sebuah persidangan, untuk menyelesaikan sebuah kasus di pengadilan antara Jaksa, Hakim, dan Terdakwa masing-masing selalu terlibat dalam sebuah perdebatan yang juga selalu mempertahankan pernyataannya dengan mencari pembenaran-pembenaran yang logis. Dalam dunia akademik pun hal-hal serupa juga sering kita jumpai ketika para akademisi sedang berdebat tentang penemuan teori barunya.
Fenomena semacam ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai makluk sosial dan berbudaya, manusia selalu mempergunakan budidayanya untuk selalu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dalam rangka ini manusia selalu mempergunakan akal yang logis sehinga dapat memiliki posisi dihadapan manusia dan lingkungannya. Perdebatan-perdebatan yang diarahkan pada pemikiran yang logis atau apapun namanya sering muncul dalam sebuah interaksi social, dan untuk itu manusia akan membutuhkan argumentasi.
Tulisan ini ingin mengupas tentang apa dan bagaimana argumentasi itu. Karena tulisan ini merupakan studi literature dan ditulis dengan sangat singkat tentunya banyak sekali kekurang-kekurangan di dalamnya, kritik dan saran pembaca sangat diharapkan oleh penulis.

B.     Pengertian
Menurut Vincent, dalam bukunya yang berjudul Becoming A Critical Thinker: A Mater Student texts Argumen diartikan sebagai: the statement of a point of view and the evidence that supports it in a way intended to be persuasive to other people.”jadi argumentasi merupakan suatu pernyataan yang didukung oleh bukti-bukti yang dapat mengubah atau mempengaruhi pikiran orang lain. Argumen juga dapat diartikan sebagai proses untuk memperkuat suatu klaim melalui analisis berpikir kritis berdasarkan dukungan dengan bukti-bukti dan alasan yang logis. Bukti-bukti ini dapat mengandung fakta atau kondisi objektif yang dapat diterima sebagai suatu kebenaran (Inch & Warnick, 2006)
Dari dua pengertian ini, jelaslah bahwa argumentasi itu adalah suatu pernyataan (klaim) yang bukan semata-mata diucap dengan tanpa dasar. Argumentasi harus selalu berorientasi pada data, fakta atau bukti-bukti yang objektif sehingga dapat diterima kebenarannya. Olehkarenanya untuk berargumentasi seseorang akan melakukan kegiatan analisis dan berpikir kritis. Lebih jauh lagi argumentasi juga memiliki sifat persuasif atau dapat mengubah mau pun mempengaruhi  pikiran orang lain.  Hal ini juga ditegaskan oleh Driver dan teman-teman, bahwa argumentasi adalah proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. (Driver, Newton, & Osborne. 1998).
Definisi lain dari istilah argument seperti yang dikutip oleh Fathiaty Murtadho, yakni suatu kegiatan verbal sosial dan rasional yang bertujuan untuk meyakinkan suatu kritik yang wajar terhadap penerimaan suatu pandangan dengan mengajukan suatu konstelasi preposisi yang membenarkan atau membantah preposisi yang dinyatakan di dalam suatu sudut pandang. Selanjutnya, argumentasi juga merupakan kegiatan rasional karena pada umumnya argumen didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan intelektual. (Van Eemeren dan Rob.Grootendorst, 2004: 1-2). Menurut Mark Vorobej, bahwa argumen memuat ungkapan-ungkapan lisan atau tertulis, dan pernyataan atau presentasi publik yang disampaikan individu pada umumnya merupakan suatu tindak komunikatif yang terpisah, dengan batasan-batasan wilayah dan waktu yang ditentukan secara jelas (Mark Vorobej, 2006: 3). Besnard dan Hunter menyatakan bahwa argumentasi pada umumnya mencakup aktifitas mengidentifikasi asumsi-asumsi dan simpulan-simpulan yang relevan dari suatu masalah yang dianalisis. Argumentasi juga mencakup aktifitas mengidentifikasi konflik yang hasilnya diperlukan untuk mendukung atau menolak kesimpualan-kesimpulan tertentu. (Philippe Besnard dan Anthony Hunter, 2008: 2-3).
Dalam hal ini, berarti argumentasi adalah suatu kegiatan yang terkait dengan rasionalisasi ungkapan dan tentunya terkait dengan pengembangan penalaran atau logika serta intelektualitas. Bentuk argumentasi ini dapat berupa lisan dapat pula berupa tulisan. Menurut Vincent argumen dapat bervariasi dalam panjang dari satu kalimat untuk sebuah esai singkat atau bahkan ke 100.000-kata buku. Jenis yang paling sederhana dari argumen terdiri dari menyatakan apa yang kita pikirkan dan mengapa kita berpikir itu. Sedangkan dalam bentuk yang lebih panjang atau kompleks argumen mengandung jaringan pernyataan atau klaim, bersama-sama dengan data pendukung (2009: 187).

C.     Argumen dan Logika
Sebelum membahas dimana hubungan antara argumen dan logika, sebaiknya kita mengingat kembali tentang posisi logika dalam pengetahuan. Menurut berbagai sumber, dapat kita pahami bahwa ilmu atau sains bisa disebut sebagai pengetahuan, namun demikian tidak semua pengetahuan itu bisa disebut sains. Suatu missal, seseorang mengetahui sebuah mobil, hal ini berarti belumlah dapat disebut sains. Bisa disebut sains bila orang tersebut mengetahui secara sistematik dan menyeluruh tentang sebuah mobil tersebut. Oleh karenanya sains bukanlah semata-mata pengetahuan, namun suatu pengetahuan yang disertai dengan sebuah metodologis, sistematis, akurat dan lengkap.
Menurut Hamid Fahmy Zarkazy, dalam kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya dapat dikelompokan dalam dua jenis, yakni  1) ilmu Alam (natural sciences), dan 2) ilmu normatif (normative sciences). Ilmu Alam, ruang lingkup pembahasannya mengarah pada sesuatu sebagaimana adanya (things as they are), sedangkan ilmu normatif, membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be). Dari kedua katagori ini, logika itu termasuk dalam kategori ilmu normatif, sebab logika mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi bagaimana seharusnya. Selain logika, dalam ilmu normatif ini terdapat pula estetika dan etika.
Kita sering mendengar istilah logika, namun tidak semua orang banyak paham apa itu logika. Banyak para pakar mengatakan bahwa logika ini merupakan kerangka dari ilmu atau pengetahuan, tanpa logika mustahil ilmu atau pengetahuan itu dapat berkembang. Menurut Jan Hendrik Rapar (1996: 10) seperti dikutip oleh Firdaus bahawa Logika adalah cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional; selajutnya masih dalam kutipan Firdaus menurut Louis O. Kattsoff (1987: 28) logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Ilmu pengetahuan ini mengurai tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh seperangkat premis.
Bila kita pahami bahwa pengertian argumentasi adalah suatu proses untuk menganalisis data, fakta atau bukti-bukti yang objektif sehingga dapat diterima kebenarannya dan aktifitasnya meliputi mengidentifikasi asumsi-asumsi hingga kesimpulan-kesimpulan, maka hal ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman kita tentang logika. Sehingga kalau dapat disimpulkan maka logika itu adalah Ilmu tentang Argumen dan argumen itu sendiri adalah logika. Walaupun demikian ada perbedaan yang harus diperhatikan dari keduannya yakni terutama mengenai istilah yang dipergunakan, seperti yang kekemukakan oleh Gorys Kerap, bahwa dalam argumen partama-tama lebih menekankan pada istilah salah dan benar. Sebaliknya dalam logika lebih menggunakan istilah valid (absah) dan invalid (tidak absah). Salanjutnya ditegaskan pula, bahwa dalam bentuk formal yang diperlukan untuk menurunkan sebuah kesimpulan dipenuhi, maka silogisme dinyatakan absah. Bila silogisme itu absah, maka dengan sendirinya kesimpulan yang diperoleh juga bersifat absah. Dalam argumentasi, yang dijadikan persoalan adalah apakah semua proposisi bersama itu benar atau tidak. Suatu misal:
Premis mayor: Semua tukang becak itu adalah pekerja keras.
Premis minor: Edi adalah seorang tukang becak.
Kesimpulannya: Jadi Edi adalah pekerja keras.
Dalam bentuk formal, silogisme di atas dapat bersifat absah. Namun sebagai argumen, silogisme itu tidak meyakinkan, karena proposi mayornya salah atau diragukan kebenarannya. Akan tetapi, jika kita bisa menerima proposisi mayornya, maka kesimpulannya dapat bersifat absah. Oleh sebab itu, dalam bentuk argumen penulis harus yakin bahwa semua premis mengandung kebenaran, sehingga ia dapat mempengaruhi sikap pembaca. Untuk membuktikan sesuatu, silogisme bukan saja harus mengandung sebuah struktur yang absah tetapi juga proposisinya harus mengandung pernyataan-pernyataan yang benar.

D.    Argumentasi dan Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang dimaksud di sini adalah suatu proses interaksi antara pendidik, peserta didik, dan sumber belajar di lingkungan belajar yang saling bertukar informasi. Dalam proses belajar semacam ini tentunya masing-masing pebelajar mau pun pembelajar berharap mendapat manfaat dari proses belajar tersebut. Oleh karenanya kemudian tujuan pembelajaran pada akhirnya menjadi tuntutan utama dalam proses belajar ini.
Tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dicapai dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat pahami sebagai bentuk perilaku kompetensi yang spesifik, aktual, dan terukur sesuai dengan yang diharapkan (terjadi, dimiliki, atau dikuasai) siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu.  Menurut Magner (1962) tujuan  pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh  peserta didik sesuai kompetensi; sedangkan  Dejnozka dan Kavel (1981) mendefinisikan tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan spefisik  yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan  yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
Bila kita kembali pada pemahaman argumentasi, maka argumentasi adalah suatu kegiatan yang terkait dengan rasionalisasi ungkapan dan tentunya terkait dengan pengembangan penalaran atau logika serta intelektualitas.Seperti yang dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, argumentasi merupakan proses yang digunakan seseorang untuk menganalisis informasi kemudian dikomunikasikan kepada orang lain. Untuk terlibat dalam argumentasi diperlukan keterampilan penalaran dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dengan lebih baik (Driver, Newton, & Osborne, 1998; Mortimer & Scott, 2003).
Seperti dikatakan Marttunen (2005), maka argumentasi dalam proses pembelajaran dapat membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Berargumentasi juga akan dapat meningkatkan hasil belajar dan kinerja siswa. Demikian ditegaskan pula oleh Cross, Hendricks, & Hickey (2008), bahwa belajar argumentasi dapat memperkokoh pemahaman konsep, memungkinkan siswa mendapatkan ide-ide baru yang dapat memperluas pengetahuan, dan menghilangkan miskonsepsi yang dialami siswa. Pada akhirnya dengan argumentasi akan  memperoleh suatu landasan kuat dalam memahami suatu konsep secara utuh dan benar.

E.     Membuat Argumetasi
Dalam kehidupan nyata, tidak mudah kita mengidentifikasi sebuah argumen. Ini disebabkan oleh tidak adanya sistem yang mudah, kecuali kita dapat mengidentifikasi mana yang premis dan mana yang kesimpulan. Selain itu pula, dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu kita temukan argumentasi dalam bentuk yang baku. Bentuk baku dari argumentasi ini berciri pada adanya premis-premis dan kesimpulan. Contoh yang paling sederhana dari bentuk baku ini, misalnya:
Premis mayor: Martha adalah putri ibu Harti
Premis minor: Ibu Harti sekeluarga tinggal di jalan Soetopo
Kesimpulannya: Martha putri ibu Harti tinggal di jalan Soetopo
Langkah awal yang harus dipahami oleh seseorang untuk membuat argumen ini, adalah memahami adanya bentuk baku dari sebuah argumen seperti contoh sederhana tersebut di atas. Tanpa memahami hal ini maka argumen yang dibuatnya sulit untuk dipahami atau bahkan akan menjadi fallacy (sesat pikir).
Menurut M. Guntur Hamzah, fallacy diartikan sebagai proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan. Fallacy merupakan gejala berpikir yang salah disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansi. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa kegagalan dalam membuat argumentasi ini ada 2 (dua) faktor, yakni:
1.      Memuat premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru.
2.      Memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari.
Contoh premis yang keliru:
      Premis mayor: Semua manusia yang hidup harus makan nasi
      Premis minor:  kehidupan ikan juga tergantung dari nasi
      Kesimpulan: jadi manusia dan ikan hidupnya tergantung dengan nasi
Contoh premis yang tidak berhubungan:
Premis mayor: Rambut Mirna lurus berwarna hitam pekat
Premis minor: Pagar rumah Adi lurus berwarna hitam pekat
Kesimpulan: Jadi rambut mirna sama dengan pagar rumah Adi
Untuk memahami sebuah argumen dalam kehidupan nyata tidaklah selalu dihadapkan pada bentuk-bentuk argumen baku, kadang kita sering menemukan kesulitan untuk memahami sebuah argumen karena antara premis dan kesimpulan tidak disusun secara baku. Oleh karenanya, utuk mengatasi kesulitan tersebut pelajarilah sebuah argumen secara cermat; tulis dan kenali kembali argumen tersebut dalam bentuk baku bila Anda belum yakin; janganlah berada pada posisi untuk membela siapa pun. Jeremias Jena mengatakan, bahwa untuk mengidentifikasi sebuah argumen ada kata-kata yang dapat digunakan sebagai indikator premis dan indkator kesimpulan. Indikator premis, di antaranya:
Ø  Sejak…
Ø  Pertama, kedua, dan seterusnya…
Ø  Karena…
Ø  Ini merupakan implikasi dari…
Ø  Bedasarkan…
Ø  Sebagaimana ditunjukan…
Ø  Sebagaimana diindikasikan…
Ø  Dapat disimpulkan…
Sedangkan indikator kesimpulan dapat dilihat dari kata-kata sebagai berikut:
Ø  Implikasi lebih lanjut adalah…
Ø  Kita dapat menimpulkan bahwa…
Ø  Hal ini memperlihatkan bahwa…
Ø  Jadi,…
Ø  Dengan demikian…
Ø  Sesuai dengan itu…
Ø  Konsekuensinya…
Ø  Maka…
Ø  Karena itu… dan sebagainya.
Selanjutnya menurut Gorys Keraf, bila Anda ingin membuat atau menusun sebuah argumen, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1.      Penulis harus mengetahui serba sedikit tentang subjek yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya. Dengan demikian, penulis dapat memperdalam masalah dengan penelitian, observasi, dan autoritas untuk memperkuat data dan informasi yang telah diperolehnya.
2.      Penulis harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah di antata fakta-fakta yang diajukan lawan ada yang dapat dipergunakannya, atau justru akan memperlemah pendapat lawan.
3.      Penulis harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalannya dengan jelas, harus menjelaskan mengapa ia harus memilih topik tersebut. Sementara itu pula, ia harus mengemuukakan konsep-konsep dan istilah-istilah yang tepat.
4.      Penulis harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas, dan sampai dimana kebenaran dari pernyataan yang telah dirumuskan itu.
5.      Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud mana yang lebih memuaskan penulis untuk menyampaikan masalahya.
Selain hal-hal tersebut di atas, untuk membatasi persoalan dan menetapkan titik ketidaksesuaian sebuah argumentasi, Gorys menganjurkan 4 (empat) sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap penulis, yakni:
1.      Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk merubah sikap dan keyakinan orang mengenai topic yang akan diargumentasikan.
2.      Penulis harus berusaha menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka tertentu.
3.      Sering timbul ketidaksepakatan dalam istilah-istilah. Sedangkan tujuan argumentasi adalah menghilangkan ketidaksepakatan.
4.      Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.
Sebagaimana layaknya dalam membuat sebuah tulisan, dalam penyajian sebuah argument sebaiknya harus meliputi 3 (tiga) komponen baku, yakni: pendahuluan, inti, dan penutup atau kesimpulan. Hal ini ditegaskan pula oleh Gorys, bahwa dalam penulisan argumentasi harus terdiri dari: pendahuluan, tubuh argumen, serta kesimpulan dan ringkasan. Selanjutnya gorys menjelaskan:
1.      Bagian pendahuluan,
Bagian ini merupakan bagian yang penting dalam upaya menarik perhatian pembaca, memusatkan perhatian pembaca kepada argumen-argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan dasar-dasar mengapa argumentasi itu harus dikemukakan. Sebuah argumentasi itu harus memancarkan kebenaran atau kekuatan untuk mempengaruhi sikap pembacanya, oleh karena itu dalam bagian ini tidak boleh dimasukkan hal-hal yang kontroversial. Untuk menentukan apa dan seberapa panjang bahan yang diperlukan dalam bagian ini, setidaknya penulis harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni: a) menegaskan mengapa persoalan itu perlu dibicarakan pada saat ini. Bila hal itu dianggap waktunya lebih tepat untuk di kemukakan, serta dapat dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang mendapat perhatian saat ini, maka fakta-faktanya akan merupakan suatu titik tolak yang sangat baik; b) menjelaskan latar belakang sejarah yang mempunyai hubungan langsung dengan persoalan yang hendak diargumentasikan, sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang mendasar mengenai hal yang hendak diargumentasikan; c) harus membedakan persoalan yang menyangkut selera dan persoalan yang membawa ke konklusi yang objektif.
2.      Bagian tubuh argumen,
Pada bagian ini, pengarang harus terus menerus memposisikan diri di pihak pembaca, dengan menanyakan apakah evidensi itu sudah dapat diterima bila ia berposisi sebagai pembaca, apakah evidensi itu sungguh-sungguh mempunyai hubungan dengan pokok persoalan, apakah tidak ad acara lain yang lebih baik, dan seterusnya. Perlu ditegaskan, bahwa evidensi itu harusmerupakan suatu proses yang selektif, dengan menampilkan bahan-bahan terbaik saja dengan enolak evidensi-evidensi yang kurang baik.
3.      Bagian kesimpulan dan ringkasan,
Bagian ini tidak mempersoalkan topik mana yang akan dimukakan dalam argumentasi, yang penting harus dijaga adalah agar konklusi yang disimpulkan tetap memelihara tujuan yang ingin disampaikan, dan menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang apa yang telah dicapai, serta kenapa konklusi-konklusi itu dapat diterima sebagai sesuatu yang logis. Bila dalam tulisan-tulisan biasa, dimana tidak boleh dibuat kesimpulan, maka dapat dibuat ringkasan dari pokok-pokok yang penting sesuai dengan urutan argumen-argumen dalam tubuh karangan tersebut.

F.      Mengevaluasi Argumen
Melibatkan diri pada suatu konsep argumentasi atau bahkan hingga usaha pengembangannya, diperlukan ketrampilan bernalar dan pengetahuan serta fakta-fakta yang akurat. Hal ini seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa argumentasi itu adalah sebuah kegiatan yang terkait dengan rasionalisasi ungkapan, sehingga sangat terkait dengan pengembangan penalaran atau logika serta intelektualitas. Olehkarenanya, untuk mengetahui kualitas sebuah argument dibutuhkan suatu analisis yang mengarah pada kualiatas bernalar, pengetahuan, serta fakata-fakta yang digunakan untuk dasar membuat argumentasi. Eduran (2008) mengatakan, bahwa argumen yang kuat memiliki banyak pembenaran yang relevan dan spesifik untuk mendukung kesimpulan dengan bukti-bukti konsep yang akurat. Adapun ciri-ciri argumentasi yang lemah ditunjukkan dengan tidak adanya pertimbangan pengetahuan ilmiah, tidak akurat, tidak spesifik, dan  tidak tepat. Selanjutnya dikatakan pula, dalam menilai kualitas suatu argumen dapat dilihat dari dua demensi, yakni demensi kualitas konseptual dan demensi kualitas epistemologikal. Kualitas konseptual diukur berdasarkan kemampuan dalam mengartikulasikan klaim kausal yang spesifik dan dapat memberikan jaminan antara klain dan data yang memadai. Untuk menilai kualitas epistemologikal, dapat dilukur dari kemampuan menunjukan data atau fakta sebagai penjamin klain, kemampuan menulis dan penjelasan kausal yang koheren terhadap fenomena, serta menunjukan berbagai referensi yang tepat tentang data.
Dalam pandangan Toulmin, membangun argumen itu adalah membuat sebuah klaim dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menyakinkan para pembacanya. Oleh sebab itu setelah mengumpulkan bukti-bukti atau alasan yang masuk akal untuk mendukung klaim, sebaiknya kita evaluasi kembali apakah bukti-bukti tersebut sudah benar-benar mendukung klaim yang kita buat atau dengan kata lain apakah kita yakin bahwa bukti-bukti tersebut dapat menjamin klaim yang sedang kita perjuangkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi ulang pemakaian bukti-bukti yang kita gunakan untuk membuat sebuah argumen, yakni:
1.      Apakah Anda tertekan oleh bukti?
Bukti yang tidak mendukung argumen Anda harus diperhitungkan, bukannya diabaikan. Pastikan bahwa Anda tidak mengabaikan bukti-bukti yang menantang atau merusak argumen Anda.
2.      Apakah Anda memanipulasi bukti?
Kadang-kadang kita menggali informasi yang tidak terlalu mendukung  pandangan kita. Tetapi kita memerlukan informasi untuk membuat argumen kita tetap kokoh. Dalam hal ini, janganlah Anda memanipulasi informasi sesuai dengan tujuan kita sendiri, kecuali Anda mengakui manipulasi tersebut untuk diserahkan kepada pembaca, dan biarkan dia untuk menilai apakah manipulasi Anda adalah salah satu yang wajar.
3.      Apakah Anda memiliki cukup bukti?
Tinjaulah pernyataan utama argumen Anda dan mempertimbangkan apakah masing-masing pernyataan hanya meyakinkan berdasarkan bukti saja. Apakah Anda menemukan diri Anda dengan mengandalkan retorika Anda sendiri untuk membuat pernyataan tersebut? Jika iya, mungkin Anda perlu untuk kembali ke sumber-sumber bukti Anda.
4.      Apakah Anda memiliki terlalu banyak bukti?
Lihatlah tulisan Anda, apakah bagian yang Anda kutip melebihi karangan Anda sendiri? Jika demikian, mungkin argumen Anda telah terkubur di bawah argumen orang lain. Kemungkinan juga, bahwa pembaca Anda akan sulit menemukan informasi-informasi yang ada buat. Dia akan kesulitan untuk menemukan argumen Anda yang sebenarnya dalam tulisan Anda.
5.      Apakah bukti Anda masih berlaku dan dapat dapat dipercaya?
Ini tidak berarti Anda tidak dapat menggunakan sumber yang sudah lama. Pertanyaan ini bermaksud menghindarkan Anda dari resiko yang disebabkan oleh penggunaan bukti yang nantinya dapat melemahkan perspektif Anda sendiri. Selain itu, Anda juga perlu memastikan bahwa sumber Anda benar-benar dapat dipercaya.
6.      Apakah bukti Anda cukup kuat untuk menjamin klaim Anda?
Pertimbangkan baik-baik, mengapa Anda percaya bahwa bukti Anda sudah cukup kuat. Apakah bukti-bukti tersebut berdasarkan penelitian yang Anda lakukan? Berdasarkan keahlian Anda dalam bidang tersebut? Ataukah asumsi dan kepercayaan umum? Jika bukti itu berdasar pada alasan asumsi dan kepercayaan umum, maka Anda perlu memeriksa kembali asumsi tersebut.
Kiranya mengevaluasi argument merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, agar argument yang kita buat tidak menjadi argumen yang tidak menyakinkan atau bahkan menyesatkan.  Vincent dalam bukunya yang berjudul Becoming A Critical Thinker: A Mater Student texts. Mengemukakan pendapatnya tentang langkah-langkah strategis untuk menevaluasi argumen. Langkah strategis ini  ditujukan agar sebuah argument itu dapat dibuktikan lebih masuk akal dari pada hanya sebagai argumen yang mengarah pada bentuk persaingan. Ada lima langkah startegi untuk mengevaluasi argumen yang kompleks, yakni:
Langkah 1: Identifikasi fakta dan opini,
Langkah awal yang harus dilakukan adalah memahami tentang fakta dan opini yang tersurat dalam sebuah argumen. Menyaring pendapat sentral untuk memahami pandangan penulis terhadap masalah yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Biasanya pendapat sentral ini dinyatakan dalam atau setelah pendahuluan dan diperkuat dalam kesimpulan. Mencatat bukti (informasi factual) yang ditawarkan. Selanjutnya mengetahui hubungan mendasar antar bagian dari sebuah argumen dapat membantu mengidentifikasi pendapat dan bukti pendukung yang lebih efektif dan akurat. Mengetahui hubungan mendasar antara bagian-bagian dari sebuah argumen dapat membantu Anda mengidentifikasi pendapat dan bukti pendukung yang lebih efektif. Meringkas pendapat utama yang ditawarkan dengan cara: 1) ditulis sebanyak-banyaknya dengan menggunakan kata-kata sendiri, 2) mencatat bagian yang inti dari argument, pendapat primer dan sekunder, serta catatan singkat tentang bukti yang digunakannya, 3) jika ingin menambahkan komentar sendiri tempatkan pada kode tanda kurung sehingga dapat dibedakan antara komentar anda dengan ide-ide penulis.
Langkah 2: Periksa fakta dan uji pendapat,
Langkah ini hanya dilakukan pada catatan atau ringkasan yang telah Anda buat. Mulailah dengan memeriksa fakta laporan utama untuk diverifikasikan bahwa hal ini benar-benar faktual. Selanjutnya, uji pendapat primer dan sekunder penulis, dengan menggunakan satu atau lebih pendekatan berikut ini:
1)      Konsultasikan pengalaman sehari-hari.
2)      Pertimbangkan pendapat itu dengan kemungkinan konsekuensinya.
3)      Pertimbangkan implikasinya.
4)      Pikirkan pengecualian.
5)      Pikirkan tandingan.
6)      Terbalik pendapat.
7)      Carilah penelitian yang relevan.
Pendekatan ini untuk memeriksa fakta dan menguji pendapat yang dapat untuk menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari argumen yang sederhana; namun, untuk argumen yang lebih kompleks biasanya memerlukan riset tambahan.
Langkah 3: Melakukan penelitian,
Tujuan utama melakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pendapat dan interpretasi fakta-fakta yang berbeda dari hasil analisa yang ada dalam argumen Anda. Pendapat dan interpretasi tersebut mungkin belum diperkuat oleh buku-buku referensi. Dalam proses ini diharapkan adanya usaha berpikir kritis untuk menyangkal wawasan anda sendiri. Melakukan kajian terhahap berbagai sumber sangat diperlukan untuk menganalisis argumen Anda.
Langkah 4: Evaluasi bukti,
Pada tahap ini, Anda telah banyak mengumpulkan sebagian besar materi yang mungkin perlu untuk dipilah-pilahkan mana yang sesuai (sepakat) atau mana yang tidak sesuai (tidak sepakat). Cara yang baik untuk melakukan ini adalah dengan membuat spreadsheet. Setelah itu tinjau kembali spreadsheet yang telah diberikan kepada orang untuk memberikan pandangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Kemudian buatlah review terhadap bukti-bukti yang sudah terakumulasi dalam penelitian Anda.
Langkah 5: Membuat keputusan Anda,
Setelah mengevaluasi berbagai aspek masalah, Anda akan siap untuk menggabungkan hasil evaluasi tersebut menjadi evaluasi masalah yang menyeluruh. Di sini Anda sudah dapat membuat keputusan walau mungkin keputusan tersebut kadang tidak disepakati oleh sebagian kecil kelompok, namun hal ini tetap dianggap menjadi keputusan yang jauh lebih baik.
G.     Penutup
Argumen bukanlah sebuah perdebatan yang ingin menjatuhkan lawan dengan cara yang kurang nalar, namun argumen harus dipandang sebagai hal yang sangat penting terkait dengan suatu pengembangan logika. Argumen dan logika adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Argmen itu adalah logika dan logika itu merupakan ilmu tentang argumen. Belajar menyusun argumentasi sangat diperlukan dalam proses pebelajaran, hal ini akan membantu siswa dalam meningkatkan ketrampian berpikir kritis yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk membuat argumentasi setidaknya dibutuhan pemahaman dasar tentang bentuk baku, sehingga dalam pengembangannya tidak akan terjadi kesalahan atau fallacy. Terkait dengan kualitas sebuah argument, diperlukan evaluasi yang terukur dan sistematis. Untuk mengevaluasi kualitas argumenttasi dapat diukur dari sisi konsep dan epistemologis. fakta atau bukti-bukti argument harus juga disajikan setelah dievaluasi keberadaannya, selanjutnya dibutuhkan sebuah prosedur untuk mengevaluasi argument agar didapatkan hasil yang lebih efisien dan akurat.
Akhirnya mudah-mudahan tulisan yang sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, diucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, mohon maaf bila ada hal yang kurang berkenan.

DAFTAR PUSTAKA


Fathiaty Murtadho. 2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi. 2nd International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE 2013)

Gorys Keraf. Bab ‘Penalaran’ Argumentasi dan Narasi Karangan. Diposting oleh hitamat pada tanggal 25-03-2013. alamat: https//hitamart.wordpress.com/ 2012/03/25/bab-penalaran-argumentasi-dan-narasi-karangan-gorys-keraf/

Hamid Fahmy Zarkasyi. Arti Berpikir Logis dan Argumentatif. http://choirul-alquds.blogspot.com/2011/08/arti-berfikir-logis-dan-argumentatif.html

http://dausmaczman.blogspot.com/2013/12/konsep-dasar-logika_25.html


vincent Ryan Ruggiero. 2009. Becoming a Critical Thinker. Bostom:Houghton Mifflin Company.




Sabtu, 21 Februari 2015

KEBIJAKAN HUMAN TRAFFICKING DI INDONESIA

Oleh: Peni Puspito


A.    Pendahuluan
Human Trafficking atau yang sering disebut dengan penjualan manusia di Indonesia pada akhir-akhir ini marak diperbincangkan di media massa, walau sesungguhnya pada jaman feodal maupun penjajahan hal ini bukanlah menjadi isu yang dianggap penting dalam kehidupan bangsa. Pada jaman budaya feodal masih berkembang, banyak sekali para penguasa menggunakan kekuatannya untuk memiliki istri tidak hanya satu. Bahkan mereka sangat leluasa mempermainkan kehidupan wanita atau semua manusia yang hidup dalam wilayah kekuasaannya. Demikian pula pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang (Hull, Sulistyaningsih dan Jones 1997).
Di Indonesia saat ini masalah perdagangan orang masih menjadi salah satu ancaman besar dimana setiap tahun hampir ribuan perempuan dan anak yang harus menjadi korban trafficking. Seperti berita terbaru dari republika.co.id, batam pada tanggal 11 Desember 2014 tentang human trafficking ini, telah mengunggah berita bahwa Malaysia akan mendeportasi sebanyak 13 (tiga belas) perempuan korban perdagangan manusia. Ke-13 (tiga belas) korban tersebut terdiri dari 4 (empat) balita dan 8 (delapan) orang dewasa pekerja imigran bermasalah, yang memasuki wilayah Negara Malaysia tanpa disertai dengan dokumen lengkap. Perempuan-perempuan tersebut awalnya dimaksudkan untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di tempat-tempat hiburan di Malaysia. Belum lagi bila kita saksikan di sudut-sudut perempatan jalan, masih banyak sekali anak-anak yang seharusnya dapat menikmati hidupnya dengan bermain, belajar, berkumpul teman dan saudaranya; namun mereka terpaksa harus menjual koran, atau bahkan meminta-minta sedekah dengan cara melantumkan lagu (ngamen).
Melihat maraknya isu human trafficking, sebenarnya pemerintah telah banyak mengeluarkan produk-produk aturan sebagai bentuk kebijakan untuk memperkecil atau memepersepit peluang terjadinya human trafficking ini. Walaupun produk-produk aturan tersebut telah lahir, kenyataannya bahwa human trafficking masih saja marak terjadi di Negeri ini; lalu mengapa hal tersebut sangat sulit hilang dari peradaban ini; Sejauh mana kemudian peraturan-peraturan tersebut efektif dan mampu membuat jera para pelakunya? Apakah setelah ada produk kebijakan baik yang berupa undang-undang ataupu peraturan dapat menghentikan permasalahan human trafficking?
Dalam tulisan ini ingin mencoba menelaah bagaimana bentuk human trafficking, konsep, serta implemetasi kebijakannya di Indonesia.

B.     Human Trafficking di Indonesia
1.      Pengertian
Definisi human trafficking mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam hal ini yang dimaksud dengan human trafficking atau perdagangan manusia, yakni: “...the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs., yang artinya:... perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau kecurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun menerima/memberi bayaran, atau manfaat untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian human trafficking, adalah sebagai berikut:
a.       Mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau keluarganya. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b.      Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.
c.       Trafficking mempunyai tujuan eksploitasi, terutama tenaga kerja (dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).
Di Indonesia pengertian human trafficking atau perdagangan manusia (perempuan dan anak) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan bahwa: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.

2.      Faktor Penyebab Human Trafficking
Dalam penelitian ILO-IPEC pada tahun 2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat menyimpulkan bahwa trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain:
a.      Kualitas Hidup
Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Di samping diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang. Selain itu kurangnya pendidikan juga mempengaruhi. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau skill, kesempatan kerja, dan mereka lebih mudah diperdagangkan karena dengan bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
b.      Perilaku Konsumtif.
Perilaku gaya hidup yang konsumtif, merupakan fakto ynag paling sering ditemukan.ng konsumtif. Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih untuk kalangan remaja gaya hidup yang bermula di lingkungan sekolah atau dirumah dapat menyebabkan perilaku-perilaku konsumtif yang pastinya mengarah pada hal-hal yang negatif.  Bila seseorang tidak bisa mengimbangi gaya hidup, maka akan diikuti dengan faktor kejahatan. Selain itu, orang tua jadi faktor yang mendorong pelaku. Gaya hidup yang konsumtif mendominasi masyarakat belakangan ini. Yang memprihatinkan, gara-gara ekonomi yang lemah dan tuntutan gaya hidup tinggi, menjadi faktor mendasar trafficking.Seharusnya remaja dan masyarakat umum harus mampu mengendalikan diri untuk mengurangi gaya hidup yang konsumtif. Maraknya kasus trafiking yang menimpa anak-anak remaja, yang dijadikan pekerja seks komersial, kadang dilatarbelakangi keinginan korban untuk memebuhi kebutuhan hidup, seperti HP yang keren, baju yang bagus, bahkan uang untuk berfoya-foya. 
c.       Faktor Budaya Masyarakat
1)     Peran perempuan dalam keluarga, meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
2)     Peran anak dalam keluarga, kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek trafficking.
3)     Perkawinan dini, perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap praktek trafficking hal ini disebabkan kerapuhan ekonomi mereka.
4)     Jeratan hutang, praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
5)     Kurangnya pencatatan kelahiran, orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang perdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
6)     Korupsi dan lemahnya penegakan hukum, pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking.
d.      Media massa
Media massa masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila lainnya.
Sesungguhnya tidak ada satu pun yang merupakan penyebab khusus terjadinya human trafficking di Indonesia. Humana trafficking  dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda seperti yang telah diuraikan di atas.

3.      Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa jenis atau bentuk human trafficking (perdagangan manusia) yang terjadi pada perempuan dan anak-anak, di antaranya:
a.       Kerja Paksa Seks dan Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia.
b.      Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
c.       Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
d.      Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya terutama di luar negeri.
e.       Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri.
f.       Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia.
g.      Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia.
Adapun sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak-anak, di antaranya:
a.       Anak-anak jalanan.
b.      Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih.
c.       Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi.
d.      Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan.
e.       Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar Negara.
f.       Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang.
g.      Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan


4.     Rentan Terjadinya Human Trafficking.
Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun: orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; anak-anak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Memalsu identitas banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subjeknya.
Korban yang direkrut di bawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam.

5.      Cara untuk menghapuskan Human Trafficking
Untuk menghapus perdagangan manusia ini sangatlah sulit, atau bahkan dapat dikata tidak mungkin bahwa human trafficking ini bisa hilang sama sekali. Namun demikian bukan berarti hal ini harus dibiarkan tumbuh berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara untuk memimalisir atau mencegah tumbuhkembangnya traffickinig ini, di antaranya:
a.       Hukuman, sebaiknya peraturan pemerintah baik berupa undang-undang, Perpres ataupun perda memberikan sanksi yang berat dan tegas kepada para pelaku Human Traficking terutama para sindikat/bos/pelaku utama. Dalam pelaksanaannya hukuman yang diberikan tidak boleh tebang pilih dan memberikan efek jera kepada para pelaku. Aturan yang sudah ada harus benar-benar dilaksanakan jangan hanya dijadikan aturan tanpa ada realisasinya.
b.     Kerjasama Penindakan Hukum, perdagangan orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional. Sebagai bagian dari transnational organized crime, perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara- negara yang anti perbudakan dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama semua pihak baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk menghapuskan Human Trafficking ini.
c.     Pengawasan Lalu-lintas Lintas Batas, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang luasnya 5.193.252 km2 terdiri dari sebagian besar lautan dan hanya 36,6 % berupa daratan. Daratan yang ada merupakan rangkaian dari 17.000 pulau-pulau seluas total 1.904.443 km2 sehingga batas-batas antar wilayah kabupaten/kota dan propinsi di dalam negeri, maupun dengan negara tetangga menjadi sangat “porous”, mudah ditembus dengan berbagai cara. Perbatasan antara propinsi-propinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura dan dengan Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus. Demikian pula perbatasan antara propinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) sangat mudah dilewati melalui “jalan-jalan tikus” dari Kalimantan Barat menuju Kuching, Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi di perbatasan antara Papua dengan Papua New Guinea. Oleh karena itu perlu ditingkat pengawasan lalu lintas lintas batas antar negara.
d.    Perlindungan Korban, perlindungan korban perdagangan orang meliputi kegiatan: penampungan dalam tempat yang aman, pemulangan (ke daerah asalnya atau ke dalam negeri) termasuk upaya pemberian bantuan hukum dan pendampingan, rehabilitasi (pemulihan kesehatan fisik, psikis), reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan masyarakatnya) dan upaya pemberdayaan (ekonomi, pendidikan) agar korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang.


C.    Dasar-dasar Kebijakan Human Trafficking di Indonesia
1.      Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Ada empat perjanjian internasional pendahulu yang terkait dengan human trafficiking ini, yaitu :
a.       Persetujuan Internasional tanggal 18 Mei 1904 untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih (International Agreement for the Suppression of White Slave Traffic). Dokumen ini diamandemen dengan protokol PBB pada tanggal 3 Desember 1948.
b.      Konvensi Internasinal tanggal 4 Mei 1910 untuk penghapusan perdagangan budak kulit putih (International Convention for the Suppression of White Slave Traffic), diamandemen dengan protokol tersebut di atas.
c.       Konvensi Internasional tanggal 30 September 1921 untuk penghapusan perdagangan perempuan dan anak (Convention of on the Suppression of Traffic in Women and Children), diamandemen dengan protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947.
d.      Konvensi Internasional tanggal 22 Oktober 1933 untuk penghapusan perdagangan perempuan dewasa (International Convention of the Suppression of the Traffic in Women of Full Age),  diamandemen dengan protokol PBB tersebut di atas.
Adapun larangan human trafficking secara internasional telah banyak instrumen yang mengaturnya, terdapat berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah human trafficking. Instrumen – instrumen yang dimaksud yaitu antara lain :
1)      Universal Declaratin of Human Rights ;
2)      International Covenant on Civil and Political Rights;
3)      International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights;
4)      Convention on the Rights of the Child and its Relevant Optional Protocol;
5)      Convention Concerning the Prohibiton and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forums of Child Labour ( ILO No. 182 );
6)      Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women;
7)      United Nations protokol to Suppress, Prevent, and Punish Trafficking in Against Transnational Organized Crime;
8)      SARC Convention on Combating Trafficking in Women and Children for Prostitusion.

2.      Pengaturan Hukum Nasional Tentang Human Trafficking
Ada beberapa Hukum yang terkait dengan human trafficking di Indonesia, di antaranya:
a.       Undang–Undang Dasar RI 1945
b.      Tap MPR XVII Tentang Hak Asasi Manusia  (HAM)
c.       Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
d.      Undang–Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
e.       Konvensi Hak Anak
f.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)
g.      Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
h.      Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdangangan Orang (Human Trafficking) Perempuan dan Anak

3.      Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menangani Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Adapun pembangunan hukum atau pembaruan hukum memiliki hubungan yang sangat kuat dengan politik, oleh karena suatu pembaruan hukum yang diawali dari pembuatan sampai pelembagaanya dilaksanakan oleh lembaga politik, yang merupakan lembaga yang memiliki kekuatan dalam masyarakat. Suatu proses pembentukan peraturan perundang- undangan dilaksanakan melalui kebijakan formulasi/legislatif, sedangkan proses penegakan hukum atau pelembagaan dilakukan melalui kebijakan aplikasi/yudikasi dan proses pelaksanaan pidana dilakukan dengan kebijakan eksekusi/administrasi. Ketiga tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut:
a) Kebijakan Formulasi/Legislasi.
Kebijakan formulasi/legislasi adalah proses pembuatan peraturan perundan–undangan yang dilakukan oleh pembuat undang–undang (pemerintah bersama–sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua badan/institusi inilah yang berwenang membuat peraturan hukum, yaitu melalui proses mewujudkan harapan hukum dalam realita.
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang, sekarang ini sudah dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu sudah sepantasnya Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana harus ditinjau kembali dan diperbaharui dengan aturan yang mengarah pada nilai–nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia, dan masyarakat internasional. Perdagangan orang yang dianggap sebagai pelanggaran harkat dan martabat manusia, sudah selayaknya mendapatkan tempat tersendiri dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Atas dasar itu dengan dilandasi penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pemerintah Indonesia mengundangkan Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b) Kebijakan Aplikasi/Yudikasi
Kebijakan aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Tahapan ini dinamakan juga tahapan yudikasi. Kebijakan aplikasi/yudikasi tidak terlepas dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu suatu upaya masyarakat dalam menanggulangi kejahatan/tindak pidana. Kebijakan aplikasi/yudikasi berhubungan dengan proses penegak hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam mewujudkan criminal justice system, aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus dapat berkoordinasi dengan baik dalam melaksanakan tugas, selaras dan berwibawa, atau harus mengacu pada managemen criminal justice system.
Di dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia, tindak pidana perdagangan orang awalnya telah diatur dalam Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana, perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan anak laki–laki dibawah umur.
Pengaturan larangan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang di dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, diatur dalam pasal 2, yang berbunyi :
“(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Apabila Pasal 297 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana dibandingkan dengan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka terlihat jelas bahwa kedua pasal berbeda dalam ruang lingkup dan pengenaan sanksi pidananya. c) Kebijakan Eksekusi/Administrasi.
Kebijakan eksekusi adalah kebijakan hukum dalam tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat–aparat pelaksana pidana, dan tahap ini disebut juga tahap administrasi. Aparat pelaksana pidana dilakukan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), bagi mereka yang telah dijatuhi hukuman (punishment) oleh Hakim.
Petugas Lembaga Pemasyarakatan adalah pegawai yang melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, dimana para narapidana tersebut sudah diputus oleh pengadilan dan dinyatakan bersalah maupun masih dalam tahapan upaya hukum.
Dalam bagian  ini  hakim dalam melakukan penerapan hukuman, dapat berupa suatu pemberian sanksi yakni misalnya sanksi pidana (penal) dan sanksi administrasi (non penal). Kepada pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hakim dapat menjurus  kepada konsep hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bersumber pada undang–undang, yurisprudensi, atau gabungan antara undang – undang dan yurisprudensi.
Apabila pelaku pelaku tindak pidana perdagangan orang akan dikenakan sanksi sesuai konsep hukum pembangunan, dapat merujuk pada Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007, atau pada yurisprudensi. Namun dalam sistem hukum di Indonesia, proses penegakan hukum lebih mengacu kepada asas legalitas, yaitu berdasarkan peraturan hukum tertulis (undang–undang). Demikian juga hakim di Indonesia, lebih sering menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

D. Pembahasan
1.      Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking  
Human Trafficking, khususnya bagi perempuan sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan yang sangat kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang  bersifat komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan profesionalitas semata, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yakni lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
a.       Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
b.      Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,
c.       Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
d.      Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
e.       Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.

2.      Hambatan Pemberantasan Trafficking
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib memang telah banyak melakukan tindakan hukum kepada para trafficker dan memproses mereka secara hukum serta mengajukannya kepengadilan. namun pihak kepolisian, kejaksaan, pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan orang sering mengeluhkan dengan adanya kendala di bidang perundang-undangan yang menyebabkan hukum yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi mereka. Memang ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat sebagian perbuatan trafficking; namun demikian, KUHP itu masih memiliki kelemahan, diantara KUHP yang secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Sementara terhadap korban orang dewasa seperti tenaga kerja Indonesia, tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh KUHP.
Kelemahan lainnya lagi dari KUHP ini adalah, hanya membatasi ruang lingkup pada ekploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adopsi illegal anak dan bayi. Hal lain yang masih terkait dengan KUHP ini adalah, tentang batas usia di bawah umur tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia di bawah umur ataupun usia dewasa. Sementara itu, UU perlindungan anak juga tidak cukup kuat untuk melindungi anak sebagai korban perdagangan orang.
Pada prinsipnya, secara umum upaya penanggulangan perdagangan manusia ini, khususnya perdagangan perempuan dan anak dapat dibagi atas 3 (tiga) kunci utama, yakni:
a.       Budaya masyarakat (culture)
Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di masyarkat tersebut  masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban perdagangan perempuan dan anak.
b.      Kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai  RAN penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.
c.       Aparat penegak hukum (legal structure) 
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.



3.      Alternatif Solusi Sebagai Pertimbangan Penyusunan Kebijakan Khusus:
Solusi pemecahan masalah trafficiking ini tidak hanya bisa dilakukan oleh perorangan atau perkelompok, namun dibutuhkan kesadaran dan kerjasama yang kuat di antara semua pihak baik perorangan, kelompok di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya human trafficiking dan sekaligus kemungkinan menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan khusus dalam rangkan munculnya isu-isu baru yang tidak dapat diakomodasi oleh hokum yang ada, di anataranya:
a.      Pada tingkat/level komunitas
1)      Memberikan Pelatihan padat karya kepada  komunitas–komunitas  yang belum mempunyai kemampuan untuk meningkat perekonomian komunitas tersebut.
2)      Memberikan  pengetahuan tentang Human Trafficking kepada komunitas–komunitas.
3)      Meningkatkan  hubungan antar komunitas agar tidak ada  saling memanfaatkan untuk kepentingan sendiri.
4)      Memperkenalkan atau memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada komunitas–komunitas tentang modus–modus yang biasa digunakan para pelaku trafficking.

b.      Pada tingkat/level Nasional
1)      Menegakkan  Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara tegas.
2)      Meningkatkan keamanan penjagaan diperbatasan negara, baik darat maupun laut.
3)      Meningkatkan keamanan di imigrasi (izin keluar negeri).
4)      Meningkatkan lapangan kerja.
5)      Meningkatkan pendidikan.
6)      Menutup diskotik dan cafe yang eksploitasi seksual.
7)      Memberikan pelatihan kepada PSK yang ditangkap agar mereka tidak kembali lagi kedunia yang gelap.
8)      Memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku perdagangan orang.
9)      Meningkatkan perekonomian rakyat kecil.
10)  Mengadakan program dua anak lebih baik.

c.       Pada tingkat/level internasional
1)      Meningkatkan hubungan kerjasama antar negara untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
2)      Mengadakan operasi bersama untuk pemberantasan tindakan perdagangan orang.
3)      Membentuk organisasi untuk memerangi perdagangan orang.

E.     Kesimpulan
Human Trafficking atau perdagangan manusia merupakan permasalahan yang sudah ada sejak kebudayaan manusia itu ada dan terus menerus terjadi sampai saat ini. Penyebab utama terjadinya trafficking adalah kurangnya informasi tentang trafficking, kemiskinan dan rendahnya pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan, selain itu juga masih lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang penanganan perdagangan orang.
Peraturan perundang untuk memberatas tindak trafficking telah diperbarui oleh pemerintah melalui Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun permasalah trafficking sampai saat ini belum selesai juga. Dalam hal ini memang tidak mudah untuk menghapus kegiatan trafficking, karena permasalah trafficking adalah permasalahan yang komplek. Untuk itu diperlukan juga penanganan yang sangat komplek dengan berbagai cara melalui lintas sektoral. Berkaitan dengan hal ini diperlukan juga suatu kebijakan khusus berupa peraturan dari pemerintah untuk mendampingi Undang-undang yang ada, terkait dengan kemungkinan adanya kelemahan perundangan dalam pelakasaan penanggulangan human trafficking.
Akhirnya semoga melalui tulisan yang sederharana ini upaya pemberantasan human trafficking mendapatkan respon dari berbagai pihak, sehingga mendapatkan hasil yang positif, tidak ada lagi penindasan, perbudakan, serta kekerasan dalam kehidupan ini. Terimakasih



Daftar Pustaka
  
Agus. Bastoni. 2007. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: Sinar Grafika.

Andi Yentriyani. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press.

Dian. 2010.“Gaya Hidup Modern Pemicu Human Trafficking Paling Tinggi “. Diunduh pada 3 Juni 2010 di google.com.

Editor. 2005. “Sosialisasi Bahaya Trafficking”, Jurnal Perempuan, Edisi 15 Februari 2005.

Fathul Jannah et.al., 2003. Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS.

Handhyono, Suparti. Human Trafficking dan Kaitannya dengan Tindak Pidana KDART, makalah dalam Seminar di Kota Batu-Malang, tanggal 30 November 2006.

Hartiningih, Maria. Feminisme Migrasi dalam Migrasi Internasional, http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?. (diakses tanggal 20 November 2010).

Harry Truman. 2007. “Kebijakan Pemerintah Dalam Memberantas Kejahatan Kemanusiaan (Human Trafficking)”.  Diunduh pada tanggal 3 Juni 2010 di http://www.w3.org/Harry Truman's Site - Trafficking.

Kementerian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat.2004. “Penghapusan Perdagangan Orang.”. Jakarta. Tidak diterbitkan.

Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta, Ameepro.

NN, 1999. Aliansi Global Menentang Perdagangan Perempuan: Standar HAM untuk Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan

NN, 2010. Mematahkan Persepsi Anak Perempuan sebagai Asset Bakti vs. Eksploitasi:http://www.kompas.com./kolomctil.asp.098!?.

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM. Thursday, 11 December 2014, 00:18 WIB

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.